Senin, 24 Januari 2011

Jamaah Justin Bieber

Siapa sih yang nggak kenal Justin Bieber? Beberapa kali nih anak jadi trending topic di Twitter. Lagu-lagunya juga digemari, aksi panggungnya dinanti. Penggemarnya (baca: jamaahnya) hampir di seluruh dunia. Justin Bieber adalah salah satu idola remaja saat ini. Jamaahnya rela berbuat apa saja. Mulai dari ngunduh video dan lagu-lagunya, sampe nguber info apapun yang berkaitan dengan kehidupan bocah kelahiran Ontario, 1 Maret 1994 ini. Bro en Sis, Justin Bieber adalah satu dari sekian ratus anak muda yang ngetop di dunia tarik suara. Setelah ibunya rajin menayangkan video berisi penampilan Justin menyanyikan lagu-lagu orang lain. Videonya diupload ke youtube. Mujur bagi doi, karena konon kabarnya ada seorang pemandu bakat yang ikut melihat talenta Justin terpikat setelah nonton penampilan di website penyimpanan video tersebut. wah kayak Sinta ama Jojo yang lipsing ngelaguin Keong Racun dong. wkwkwk
Pada bulan Juni 2009, singlenya yang berjudul “One Time” dirilis. Single tersebut berhasil nangkring di posisi 12 dalam Canadian Hot 100 dan urutan ke-26 di the Billboard Hot 100. Lagu yang paling sering diputer dan dikenal apalagi kalau bukan  “Baby”. Sekarang, pastinya jamaah Justin Bieber makin bejibun. Mungkin salah satunya adalah kamu.
Lha so, apa pentingnya masalah ini dibahas? Ada. Yakni, ingin mengajak teman remaja berpikir lebih mendalam tentang arti hidup. Hidup bukanlah main-main, bukan pula sekadar tumbuh, cari makan, menghibur diri, beranak, dan kemudian mati. Idih, sederhana banget. Apa nggak ada tujuan hidup lainnya selain itu? Ini penting banget. Apalagi di jaman sekarang, dimana manusia dibesarkan oleh segala kemudahan hasil rekayasa teknologi. Mau tidak mau, kita saat ini berhadapan dengan produk-produk manusia yang ‘dikendalikan’ oleh teknologi. Khususnya teknologi komunikasi dan informasi.
Teknologi ikut membesarkannya
Pernah nonton film kartun keluaran Walt Disney? Ini emang jadul banget. Ada tokoh indian kecil namanya Hiawata dan Watawah. Saat Hiawata kirim pesan kepada Watawah yang lagi ada di balik bukit atau seberang sungai musti bikin api unggun dulu. Kemudian selembar kain dikibas-kibaskan untuk membuat sandi dengan asap api unggun tersebut, agar Watawah ngerti berita dari Hiawata. Di Jazirah Arab jaman baheula, pembawa berita harus mengunakan kuda atau onta (bukan akronim dari oncom tahu, lho). Sementara burung merpati juga sering dimanfaatkan sebagai pengantar surat. Kebayang banget kan gimana komunikasi jaman dulu?
Tapi, teknologi informasi udah merevolusi cara kita berkomunikasi. SMS misalnya, asal kamu punya hp atau bisa juga hape pinjeman (tentu saja kalo pulsanya masih ada) bisa berkirim pesan kepada temanmu yang punya alat sejenis. Iya dong, mana bisa kirim SMS ke teman kamu yang nggak punya ponsel (backsound: emangnya kompor bisa nerima kiriman SMS?).
Bayangin juga, jaman tahun 80-an. Pastinya saat belum ada handphone dan internet (di negeri kita lho, mungkin aja di negara lain mah udah ada). Walah, jaman itu gue punya banyak kenangan. Mau nonton dan dengerin lagu aja harus nunggu seminggu. Adanya di TVRI. Acaranya Kamera Ria atau Album Minggu Ini. Kadang ada juga Selecta Pop dan Aneka Ria Safari. Kalo di radio sih bisa tiap hari waktu itu juga.
Kalo sekarang? Yup, teknologi sudah mengubah segalanya. Mau dengerin lagu tinggal tongkrongin acara televisi. Tiap hari ada acara musiknya. Nggak puas, browsing di internet dan download lagu-lagu dari penyanyi idola kita. Mau lihat videonya juga bisa. Tanamkan musik dan video itu di ponsel kamu yang kapasitas memorinya ber-giga-giga bita itu. Gampang bin mudah alias gampang yang punya bapak mudah. Teknologi mengubah gaya hidup manusia dan menjadikan sebagiannya sebagai ‘dewa’ yang dipuja-puja dan banyak jamaahnyah. Dan, Justin Bieber salah satu di antaranya.
Kalo males ngunduh lagu yang lagi tren di internet, cukup kirim SMS ke teman minta janjian ketemuan dan di-copy deh tuh file lagu ke ponsel via bluetooth. Waduh, gimana nggak menyenangkan tuh hidup. Oya, secara tidak langsung, kepuasaan yang kita dapatkan dalam menikmati lagu-lagu dari penyanyi idola kita ikut membesarkan nama idola kita juga. Betul nggak? Oke. Inilah yang gue maksud bahwa kita dibesarkan di abad media massa yang serba canggih dan memberikan pengaruh besar dalam tingkah laku kita semua. Selama itu positif sebenarnya nggak ada yang salah. Tetapi, kalo ada yang salah kemudian diikuti karena disebarluaskan secara bebas dan tanpa batas, maka itulah yang harus dikhawatirkan.
Siapa idola terbaik kita?
Soal idola ini emang seperti udah mendarah-daging dalam diri remaja. Pasalnya, emang banyak remaja yang begitu. Jujur aja, idola ABG banyak banget, dan kebanyakan yang dijadiin idola adalah kaum seleb. Nggak percaya? Di majalah-majalah remaja juga yang dieskpos selalu kaum seleb. Dari mulai gosipnya, gaya hidupnya, sampai karir mereka. Tentu saja itu dibuat dengan tujuan supaya remaja mengidolakannya. Awalnya mungkin cuma menanamkan simpati doang, tapi kan lama-lama remaja jadi keterusan seneng karena publikasinya yang dibuat seheboh mungkin. Makanya bisa kamu lihat, majalah remaja yang mengekspos kaum seleb pasti iklannya bejibun banget, karena emang banyak pembacanya.
Kenapa remaja sering terjebak untuk mengidolakan seseorang, ya? Ini berkaitan dengan naluri manusia, Bro. Dalam diri manusia itu ada naluri beragama. Lho apa hubungannya? Sebentar, kamu jangan dulu mengkerutkan dahi alias bingung bin pusing. Tenang. Begini, gharizah tadayyun (naluri beragama) ini diwujudkan dengan adanya upaya untuk mensucikan sesuatu atau menganggap sesuatu lebih dari dirinya. Misalnya aja, nenek moyang manusia di masa animisme dan dinamisme, mereka menyembah batu, pohon, dan kuburan. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan akan naluri beragama mereka. Namun, karena cuma mengandalkan perasaannya doang—tanpa dibimbing wahyu dari Allah—maka yang terjadi adalah kesalahan. Mereka sih nggak ngeh kalo itu salah, yang penting bisa tenang karena merasa sudah terpenuhi. Habis perkara.
Bro en Sis, naluri ini ada dalam setiap orang. Orang yang atheis sekalipun sebetulnya memiliki naluri ini. Tapi, karena mereka nggak percaya adanya pencipta, maka pemenuhannya dialihkan kepada pahlawan-pahlawan mereka. Misalnya aja, orang Soviet yang atheis sering menyembah gambar atau patung pahlawan mereka seperti Lenin, Stalin, Karl Marx dan tokoh-tokoh lain yang dianggap sebagai pahlawannya. Pokoknya diagung-agungkan dan jadi sesembahan mereka. Ini membuktikan bahwa naluri itu emang ada dalam diri setiap manusia. Dan tentu saja orang-orang atheis ini merasa tenang dengan terpenuhinya naluri tersebut. Padahal kalo menurut aturan Islam, jelas pemenuhan naluri yang mereka lakukan salah banget. Mereka cuma mengandalkan perasaannya semata. Namun tidak memperhatikan hakikat di balik penciptaan makhluk-makhluk tersebut.
Nah, kamu yang mengidolakan kaum seleb; baik artis film dan sinetron, penyanyi, dan pemusik kudu hati-hati. Soalnya, bukan tak mungkin bila kemudian kamu lupa diri dan akhirnya tanpa sadar mengikuti gaya hidupnya. Pendek kata, kalo kamu sudah menganggap mereka tuntunan hidup kamu, berarti kamu telah menjadikan beliau-beliau sebagai “nabi”. Waduh, jangan sampe deh.
Jadi sekarang kamu mulai ngeh bahwa “pemujaan” terhadap idola  merupakan salah satu perwujudan yang salah dari naluri beragama. Malah dalam level tertentu bisa menjerumuskan kamu ke dalam kesyirikan, lho. Hati-hati ya! Dan ingat, persoalan nggak berhenti di situ aja. Kamu malah bisa “dituduh” oleh Islam telah menjiplak perilaku mereka dalam kehidupan kamu, jika setiap apa yang dilakukan oleh tokoh idolamu kamu ikuti dengan sepenuh hatimu. Yakni seluruh gaya hidupnya kamu contek abis—nggak satupun yang tersisa. Wah, bisa gaswat itu.
So, mulailah berpikir normal. Kita, kaum muslimin hanya tunduk pada syariat Islam. Kita,  hanya menjadikan Rasulullah saw. sebagai idola terbaik. Dan, kita harus menjadi jamaahnya kaum muslimin yang beriman dan taat syariat, bukan jamaahnya Justin Bieber. Siap bos?wokeee..

Antara Start dan Finish

Temen-temen, Ayo kita flashback ke tahun baru. Apa yang biasa kamu lakukan dalam menyambut tahun baru? Beragam jawaban kamu pasti bakalan kamu ekspresiin. Mulai dari yang semangat nyiapin segala sesuatunya di momen pergatian tahun ini, yang sekedar ikut-ikutan karena nggak enak sama temen karena takut dikatain nggak solider, yang biasa-biasa aja alias cuek bebek nggak peduli dengan hal nggak penting kayak gini, sampe yang ekstrim benci dan nggak suka sama acara rutinitas tahunan yang udah seperti tradisi ini. Dan emang faktanya, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap hal ini seperti udah menjadi budaya, pokoknya nggak boleh sampe terlewatkan lah. Betul apa betul?
Euforia yang saya maksud di atas biasanya gampang kita temukan di setiap pergantian tahun baru miladiyah (masehi). Meskipun sekarang udah mulai membudaya juga tradisi sambut tahun baru hijriyah (tarhib Muharram) tiap tahunnya yang kental dengan nuansa pawai diiringi suara tabuhan ‘band kepret’ alias rebana atau marawis, tapi kemeriahan pesta tahun baru masehi tetep nggak tergantikan. Kebisinginnya juga nggak ketulungan kalo udah mau deket-deket 31 Desember jam 00:00. Itu yang namanya suara terompet ampun deh udah bikin berisik seantero jagat raya (lebay deh…), khususnya buat saya yang alergi sama kebisingan semacam terompet atau petasan. Untungnya saya nggak pernah sakit gigi, yang konon katanya kalo lagi senut-senut nggak karuan gitu ngedenger suara berisik jadi tambah ‘nikmat’ nyerinya. Heuheu. Hmm, mantep tuh! Aduh-aduh
Malah parahnya, kalo dibandingin lagi sama tahun baru kaum koko dan cici; imlek, tahun baru hijriyah yang katanya tahun baru umat Islam nggak pernah disambut antusias seantusias seperti menyambut kehadiran gong xi fat chai oleh kita yang rata-rata muslim. Apa karena seneng sama hiburan barongsaynya atau karena ngarep dapet angpau? Wah, saya juga nggak tau tuh (sambil garuk-garuk kepala…).
1 Muharram vs 1 Januari
Sobat muda, kalo kamu ngerasa remaja muslim, ayo siapa yang bisa nyebutin nama 12 bulan di sistem penanggalan hijriyah secara benar berurutan? Kalo pas ada pertanyaan gini sontak biasanya kamu yang lagi rame sekali pun pasti langsung diem seribu bahasa (ceile…), kayak dering suara panggilan hp yang kamu reject. Atau persis mirip ekspresi seorang anak (temennya Cila) di iklan susu di tv yang pas ditanya mau jadi apa dia jawab: “Wah, apa ya?” Tuing-tuing,zzzz…
Beda ketika ditanya tentang 12 bulan di tahun masehi yang semuanya pasti bisa jawab dari Januari sampe Desember. Hapal di luar kepala. Mas dan Mbak, yang jawaban pertanyaan atas juga sama kan di luar kepala, bener-bener di luar kepala, alias nggak tahu? Tuh kan mesem-mesem…
Nah, itulah kita. Muslim yang kini hampir nggak mengenal identitas pribadinya. Dari mulai Muharram, Safar, Rabiul Awal (Rabiul Ula), Rabiul Akhir (Rabiuts Tsani), Jumadil Awal (Jumadil Ula), Jumadil Akhir (Jumadits Tsani), Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqoidah, sampe Dzulhijjah adalah 12 bulan yang nyaris terdelete dari memori otak kita. Padahal di tiap bulan tersebut rata-rata terkandung peristiwa bersejarah yang ada kaitannya dengan peradaban manusia.
Sama kasusnya dengan hari Ahad yang merupakan hari pertama dalam siklus mingguan kalender yang sudah tergantikan dengan Minggu. Idealnya, mengawali hari aktivitasnya muslim adalah sejak Ahad, tapi kita di hari pertama malah liburan dengan alasan Minggu. Konon menurut guru saya, itulah alasan mengapa pencarian nafkah kita jadi sering tidak berkah karena memulai ikhtiar di hari kedua. Kalo kata orang tua dulu, ibarat rejekinya udah dipatok ayam. Ya up to you, Anda boleh percaya, boleh tidak.
Seperti halnya sejarah awal mula penetapan tanggal 1 Muharram, ternyata kalo kita buka referensi di kitab-kitab sirah nabawiyah atau tarikh, kita bakal nemuin begitu dahsyatnya rentetan peristwa-peristiwa itu terjadi. Pantes kalo sekarang semangat hijrah 1 Muharram selalu diperingati sebagai momentum awal untuk membuat komitmen hidup yang lebih baik lagi oleh kita yang muslim. Nggak kebayang kan gimana dulu Rasul Saw. dan para sahabat mempertahankan nyawa saat kaum kuffar Quraisy mencoba membabat habis peradaban Islam yang tengah dibangun? Makanya Allah memerintahkan kaum muslim saat itu buat pindah untuk sementara waktu menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman; dari Mekah ke Madinah. Lebih mendebarkan plus mengerikan ketimbang mengungsinya masyarakat sekitar Gunung Merapi ke posko-posko darurat pas erupsi kemaren, lho.
Singkatnya, peristiwa perjuangan generasi awal Islam inilah yang kemudian dicanangkan oleh Amirul Mu’minin ‘Umar Ibnul Khaththab sebagai landasan penanggalan kalender Islam yang dimulai 1 Muharram, 1.432 tahun yang lalu.
Sementara 1 Januari yang begitu extravaganza dipestakan ternyata hanyalah warisan seremonial kaum pagan Yunani dan Romawi yang memuja dewa-dewi sembahan mereka. Banyak yang nggak tahu kalo perayaan 1 Januari itu lekat dengan unsur ritual dari keyakinan yang dianut mereka. Bahkan sebenarnya kita perlu curiga dengan slogan ucapan yang terpampang jelas setiap menjelang tahun baru, ucapan selamatnya selalu digabung antara Natal dan Tahun Baru. Kok bisa? Ini dia jawabannya: Pada tahun 1582 M Paus Gregorius XIII juga mengubah Perayaan Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Hingga kini, Umat Kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari. Nah lho, jadi sebenarnya kaum muslimin yang merayakan tahun baru 1 Januari ternyata sedang ikut larut dalam perayaan kaum Kristen, Waduh!
Ini gawat lo Bro n Sis, sebab Rasulullah saw. udah bersabda: Man tasyabbaHa bi qaumin faHuwa minHum. (Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/ bangsa maka dia termasuk salah seorang dari mereka.) (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
So, sukakah kita disamakan dengan orang-orang yang ingkar kepada Allah dan RasulNya? Tsumma na’udzubillah. Lantas, kalo udah tau gimana bermaknanya 1 Muharram, kenapa kita masih keukeuh mengagungkan 1 Januari dan menyepelekan 1 Muharram ya?
Memulai Start hingga ke Finish
Hijrah yang dulu dilakukan oleh Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) mempunyai makna yang begitu dalam. Banyak sekali pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari kisah tersebut. Dari mulai semangat; keteguhan iman dan Islam mereka, sekaligus bakti plus bukti cintanya pada Allah dan RasulNya; pengorbanan atas harta, tahta, dan keluarga yang harus ikhlas ditinggalkan; nyawa yang jadi taruhan, hingga persaudaraan yang diikat erat aqidah antara Muhajirin dan Anshar; menjadi inspirasi serta motivasi tak ternilai harganya buat kita yang hidup setelah mereka. Andai saat itu tak pernah terjadi peristiwa hijrah, tentu peradaban Islam tak akan pernah berlangsung sekian abad lamanya dan mustahil kita rasakan kini.
Lalu pernahkah kita sejenak berkontemplasi, muhasabah, merefleksikan semangat hijrah itu dalam realitas kehidupan kini? Mereka orang-orang mulia dan terhormat telah memulai Start untuk peradaban manusia yang lebih beradab. Saat itu, mereka betul-betul yakin akan janji Allah Swt. dalam al-Quran (yang artinya): “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS at-Taubah [9]: 20)
Lalu di manakah posisi kita? Sekedar menjadi penerus tongkat estafet pun mungkin tak pernah kita sadari dan lakukan. Garis-garis besar haluan peradaban itu telah mereka buat untuk kita, dan kita tinggal merampungkan hingga ke garis Finish. Tapi kita terkadang berlari di arena pacuan lain. Dan tongkat estafet yang harusnya kita perjuangkan untuk sampai ke tangan pelari berikutnya malah kita buang dan acuhkan.
Saudaraku, tanpa kita sadari kita belum pernah memulai secara sungguh-sungguh untuk hijrah ke arah yang lebih baik lagi. Dari dulu mungkin kita hanya stagnan, berdiam diri di garis Start yang harusnya sudah kita tempuh, berlari dan terus berlari menyempurnakan diri. Seperti Forrest Gump yang tak henti-hentinya berlari; “run Forrest, run!”.
Kita mesti malu pada pendahulu kita. Apa yang sudah kita lakukan untuk hidup ini, untuk orang tua dan keluarga, untuk Islam dan kaum muslimin, untuk Allah Swt.dan RasulNya? Mengapa kita belum berhijrah dengan sebenar-benarnya hijrah?
Biasanya Rasululullah saw. dan para sahabat mengevaluasi jejak perjalanan setahun ke belakang. Bahkan bukan di akhir tahun, tapi di setiap malam sebelum tidur. Setiap kesalahan diistighfari, dimohonkan ampunan padaNya; dan setiap kebaikan dipertahankan serta ditingkatkan di hari-hari berikutnya. Terngiang selalu di telinga para sahabat wejangan Baginda saw. mengenai tiga golongan manusia dalam kaitannya dengan perubahan: beruntunglah ia yang hari ini lebih baik dari kemarin, merugilah ia yang hari ini sama saja seperti kemarin, dan celakalah ia yang hari ini lebih buruk dari kemarin. Nastaghfirullah al-‘azhim.
Sobat muda muslim pembaca setia gaulislam, berapa banyak di antara kita yang telah menyusun rencana dan strategi dalam mengarungi hidup kita setahun ke depan? Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar terucap di bibir “ingin hidup lebih baik lagi”, tapi konsep strategi, komitmen, serta prinsip mengenai visi dan misi rencana hidup setahun ke depan juga sangat dibutuhkan sebagai pedoman agar tercapai sesuai harapan. Seperti seorang Jamil az-Zaini yang menuangkan semua harapan dan cita-cita hidupnya dalam buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku, yang ia bawa turut serta saat thawaf di Ka’bah.
Maka mari susun program kerja kita di sisa waktu dan usia yang Allah berikan. Minimal untuk 1 tahun ke depan. Kemudian kita perjuangkan, for a better life, demi tercapainya kehidupan yang lebih baik lagi dalam naungan rahmat dan ridho Allah Swt. agar kita bisa meneladani dan sekaligus menerapkan benar-benar semangat hijrah para pendahulu dalam kehidupan kita. Tak perlu takut menghadapi terjangan badai apa pun. Ingat janjiNya (yang artinya): “…Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS Ali ‘Imran [3]: 195)
Dalam firmanNya yang lain (yang artinya): “Siapa saja yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Siapa saja yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah MahaPengampun lagi MahaPenyayang.” (QS an-Nisaa [4]: 100)
Sobat muda, semoga Start yang akan kita awali ini berbuah manis di garis Finish nanti. Menjadi orang-orang yang menikmati happy ending alias husnul khotimah. Menutup jejak sejarah kehidupan kita dengan prestasi yang dipahat dengan tinta emas. Karena “Sesungguhnya hari akhir itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS adh-Dhuha [93]: 4)
Last but not least, jadikan semangat hijrah sebagai amunisi dalam meniti jalan ketaatan pada Allah dan RasulNya semata.  Salam Mumtaz! wokeee.... :D

Kita Harus Kuat!

Apakah kita pernah merenung sejak, betapa lemahnya kita saat menghadapi masalah? Jika jawabannya “iya”, berbahagialah kamu. Sebabnya, sebagai manusia kita memang lemah. Lalu apa hubungannya dengan judul artikel ini?kok kayaknya bertolak belakang sama judul artikelnya yak? Ada hubungannya, Bro. Dan, tentu tidak bertolak belakang. Ungkapan bahwa manusia memang makhluk yang lemah, adalah benar. Kemudian motivasi bahwa kita harus kuat juga benar. Jadi ini boleh dikata benar semua tergantung konteksnya, yakni tergantung pada apa yang sedang dibahas dan situasi yang menjadi pembahasan itu.
Sederhananya gini, kalo kamu diminta menyadari bahwa sebagai manusia adalah lemah, sehingga kamu harus meminta pertolongan dan bergantung kepada yang lebih kuat, yakni pencipta kita, Allah Swt., maka di situlah benar sesuai konteksnya. Kemudian jika kamu diminta bahwa kamu sebagai pribadi muslim yang mantap, harus menunjukkan kekuatan yang kamu miliki: kuat imannya, kuat imunya, kuat kepribadiannya, kuat usahanya, kuat inovasi dan kreativitasnya dalam menghadapi terjalnya jalan dakwah dalam rangka menumbuhkan semangat beragama, maka itu benar pula sesuai konteksnya.
Nah, dalam dalam artikel ini, kamu akan diajak untuk menunjukkan bahwa kamu kuat, bahwa kamu bisa menjadi teladan, bahwa kamu bisa menjadi pribadi tangguh yang berakhlak mulia. Keren bukan? Bisakah kita memiliki kriteria itu? Bisa saja kok. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku. Kok bisa?  Ya iya lah. Nggak ada yang bisa tiba-tiba jadi sakti tanpa berlatih atau belajar ilmu kanuragan terlebih dahulu. Nggak ada orang yang langsung pinter tanpa belajar. Itu sama artinya juga dengan jangan mengharap terjadi perubahan besar dalam hidup kita, tanpa kita sendiri berupaya untuk melakukan perubahan tersebut. Setuju ya?
Kuat imannya
Barangkali kita perlu tahu juga lho, apa sih definisi iman itu? Yo i, menurut Ustadz Taqiyuddin an-Nabhani, akidah atau iman adalah pembenaran yang pasti (tahsdiiq al-jaazim) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Prof. T.M Hasbi ash-Shiddiqy juga berpendapat bahwa, “Iman ialah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun zhann (persangkaan yang tidak memiliki alasan kuat).
Jadi, keimanan itu harus benar-benar tidak boleh ada keraguan. Maka, ketika meyakini bahwa hanya Allah Swt. sajalah yang wajib disembah, maka seorang Muslim tak akan pernah tergoda untuk menyembah selain Allah Swt. Bahwa hanya Allah Swt. sajalah yang wajib diikuti aturanNya, seorang mukmin sejati tak akan pernah mau menerima aturan selain aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk mengatur kehidupannya di dunia ini. Itu memang konsekuensinya.
Bro n Sis, untuk mengimani Allah Swt., kita bisa melalui dua jalan. Pertama, bisa secara dalil akli dan kedua secara dalil nakli. Dalil akli, yakni kita beriman kepada Allah Swt. dengan cara memikirkan tanda-tanda kekuasaanNya yang ada di langit dan di bumi. Bukti bahwa Allah Swt. itu ada bisa dilihat dari seluruh ciptaanNya, yakni manusia, alam semesta dan kehidupan ini.
Sementara untuk membimbing ke jalan yang benar, kita bisa memadukan dalil akli ini dengan dalil nakli, yakni cara mengimani Allah Swt. melalui dalil-dalil yang tertulis dalam pegangan hidup kita, yakni al-Quran dan as-Sunnah. Bahwa secara akal kita bisa membuktikan keberadaan Allah Swt. meskipun tidak terlihat, maka secara nakli, dalil tertulis di dalam al-Quran kita akan lebih yakin bahwa Allah Swt. itu bukan saja harus diyakini keberadaanNya, tapi juga aturanNya. Misalnya dalam firman Allah Swt.: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) besertaNya, kalau ada tuhan besertaNya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,” (QS al-Mu’minuun [23]: 89-91)
So, kekuatan iman ini sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Muslim. Nggak gampang memang untuk bisa memiliki keimanan yang kuat, namun bukan berarti tidak bisa dimiliki. Insya Allah bisa selama kita berusaha untuk meraihnya.
Nah, bagaimanakah agar iman itu bisa kuat dan kokoh? Hmm… Sebenarnya ketika kita beriman kepada Allah Swt. melalui proses berpikir yang benar dan dibimbing wahyu Allah melalui al-Quran dan as-Sunnah, insya Allah akan memberikan efek kekuatan kita dalam beriman kepadaNya. Sebab, aktivitas berpikir akan membantu kita untuk mencari jalan keluar dalam berbagai persoalan yang kita hadapi. Bahkan Rasulullah saw. menerapkan tradisi berpikir ini dalam pembinaan kepada para sahabatnya. Rasulullah mengenalkan di dalam pembinaannya suatu tradisi berpikir yang merupakan follow up dari pemahaman terhadap pemikiran yang paling mendasar tersebut.
Bagaimana agar cahaya keimanan tetap menyala? Para sahabat, generasi awal kaum Muslimin yang berhasil dididik Rasulullah saw. mengaitkan aktivitas berpikir dengan keimanan. Mereka menjelaskan bahwa, “Cahaya dan sinar iman adalah banyak berpikir” (Kitab ad-Durrul Mantsur, Jilid II, hlm. 409)
Kuat ilmunya
Selain iman yang wajib dikuatkan, ilmu kita wajib ditingkatkan lho. Untuk apa? Agar kita bisa memahami banyak masalah dan memberikan solusinya. Ilmu ibarat obor penerang di kelamnya malam. Ilmu adalah pelita. Bayangin deh kalo kita nggak punya ilmunya, niatnya memperbaiki sepeda motor yang rusak, malah akhirnya tambah parah. Apalagi kalo kita cuma mahir bongkarnya doang tanpa bisa masangin lagi. Halah, namanya itu mah “terima bongkar nggak terima pasang”, dong.
Bro en Sis, Allah memberikan keutamaan lho kepada orang yang kuat dan tinggi ilmunya. Dalam al-Quran Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Subhanallah. Penghargaan yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(QS al-Mujaadilah [58]: 11)
Bro, kata “yarfa’illaahu” (“Allah meninggikan”), ini memiliki makna, Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
Pengertian ‘utul ilma (“orang-orang yang diberi ilmu”), yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i (agama, syariat Islam). Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntunan Allah dan RasulNya.
Kemudian makna “darojat” (“Beberapa derajat”), menurut Imam al-Qurthubi rahimahullah: yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Swt, mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. Maka (mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkan ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya. Dan dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki, Allah Swt. mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari kaum mukminin di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.”
Beliau kemudian menukilkan beberapa perkataan ulama, di antaranya Qatadah rahimahullah: “Sesungguhnya dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan. Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir ath-Thabari, juz 28 hlm.19)
Sip deh, dari keterangan dan penjelasan seperti ini kita bisa kita pahami bahwa Allah Swt. akan memberikan keutaan kepada orang yang beriman dibanding orang yang nggak beriman, juga orang beriman yang berilmu dengan orang yang beriman tapi tidak memiliki ilmu derajatnya juga beda. So, kuatkan iman dan ilmu kita yuk!
Iman dan ilmu untuk beramal shalih
Sobat gaulislam, iman yang kuat disertai dengan ilmu yang kuat insya Allah akan memberikan ‘energi’ untuk menggerakkan kita dalam beramal. Tentu saja amal shalih dong ya, bukan amal salah. Artinya, orang yang beramal shalih dengan ikhlas, insya Allah ia sudah beriman dan berilmu tinggi, kuat iman dan ilmunya. Kalo masih ada rang yang beramal shalih tapi masih pamrih, itu artinya dia belum kuat iman dan ilmunya. Iya nggak sih? Yuk, mulai sekarang, kita belajar untuk meningkatkan kualitas iman dan ilmu kita agar menghasilkan amal shalih yang hebat pula. Ya, kita harus kuat!(Sumber : Buletin Gaul Islam edisi 169/tahun ke-4 (12 Shafar 1432 H/ 17 Januari 2011))